Karhutla dan kabut asap di hutan Indonesia, memobilisasi sumber daya untuk pengelolaan lahan berkelanjutan.

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan salah satu masalah lingkungan terbesar yang dihadapi Indonesia.

Setiap tahunnya, bencana ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga membawa dampak luas terhadap kesehatan masyarakat, ekonomi, dan hubungan internasional.

Kabut asap yang dihasilkan dari karhutla sering kali menyelimuti wilayah Sumatera, Kalimantan, bahkan negara-negara tetangga, sehingga memicu krisis lintas batas.

Namun, data terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan secercah harapan.

Berdasarkan pantauan satelit Terra/Aqua dengan confidence level 80% atau lebih, jumlah titik panas (hotspot) menurun drastis sebesar 59,38% pada tahun 2024 dibandingkan dengan 2023.

Kemajuan Penanganan Karhutla pada Tahun 2024

KLHK melaporkan bahwa jumlah hotspot pada periode 1 Januari hingga 10 Oktober 2024 sebanyak 3.163 titik, turun dari 7.786 titik pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Penurunan ini mencerminkan upaya nyata pemerintah dalam mengatasi masalah karhutla melalui pengawasan, pencegahan, dan penegakan hukum.

Selain itu, luas lahan yang terbakar juga menurun menjadi 283.620,51 hektare pada Januari hingga September 2024.

Sebagian besar area yang terbakar adalah lahan tidak berhutan, yakni 252.320,33 hektare (88,96%), sementara lahan berhutan hanya mencakup 31.300,18 hektare (11,04%).

Meskipun data ini menunjukkan progres yang signifikan, tantangan besar masih ada.

Karhutla bukan sekadar masalah kebakaran, tetapi juga berkaitan dengan tata kelola lahan, perilaku manusia, dan dampak perubahan iklim.

Oleh karena itu, mobilisasi sumber daya untuk pengelolaan lahan yang berkelanjutan menjadi kunci dalam menyelesaikan masalah ini.

Penyebab Utama Karhutla

Karhutla di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia.

Praktik pembukaan lahan dengan cara membakar, terutama di wilayah gambut, menjadi pemicu utama.

Metode ini dianggap murah dan efisien oleh pelaku industri, terutama di sektor perkebunan sawit dan hutan tanaman industri.

Selain itu, perubahan iklim dengan musim kemarau yang panjang memperburuk kondisi lahan, membuatnya lebih rentan terhadap kebakaran.

Faktor lain adalah pengelolaan lahan yang tidak berkelanjutan dan lemahnya penegakan hukum.

Meskipun pemerintah telah mengeluarkan regulasi ketat, pelanggaran masih sering terjadi, baik oleh individu maupun perusahaan besar.

Strategi Mobilisasi Sumber Daya

1. Pemanfaatan Teknologi untuk Deteksi dan Pemantauan

Penggunaan teknologi satelit dan sistem peringatan dini terus dikembangkan untuk memantau hotspot secara real-time.

Langkah ini memungkinkan tindakan cepat untuk mencegah kebakaran meluas.

2. Penegakan Hukum dan Pengawasan yang Ketat

Pemerintah telah memperketat regulasi terkait pembakaran lahan, dengan sanksi tegas bagi perusahaan atau individu yang melanggar.

Selain itu, patroli lapangan ditingkatkan untuk memantau aktivitas pembukaan lahan secara ilegal.

3. Edukasi dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal

Masyarakat lokal sering menjadi pihak pertama yang terdampak karhutla.

Oleh karena itu, pemberdayaan mereka melalui pelatihan praktik pengelolaan lahan tanpa bakar dan insentif ekonomi untuk metode pertanian ramah lingkungan sangat penting.

4. Restorasi Lahan dan Ekosistem Gambut

Lahan gambut yang rusak rentan terhadap kebakaran.

Kebakaran hutan menghancurkan habitat alami berbagai flora dan fauna, termasuk spesies langka seperti orangutan dan harimau Sumatera.

Rewetting atau pembasahan kembali lahan gambut menjadi langkah utama untuk mencegah kebakaran di masa depan.

Pemerintah juga mendorong program restorasi hutan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat adat.

5. Kolaborasi Antar Pihak

Pengelolaan lahan berkelanjutan memerlukan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan organisasi internasional.

Pendanaan, teknologi, dan pengalaman dari berbagai pihak dapat mempercepat implementasi strategi mitigasi karhutla.

Membangun Masa Depan yang Berkelanjutan

Karhutla Epictoto adalah masalah kompleks yang memerlukan pendekatan lintas sektor.

Data penurunan jumlah hotspot dan luas area terbakar di tahun 2024 menunjukkan bahwa intervensi pemerintah membuahkan hasil.

Namun, keberhasilan ini harus dipertahankan dan ditingkatkan dengan memperkuat kolaborasi, edukasi, serta pemulihan ekosistem.

Dengan memobilisasi sumber daya secara efektif, Indonesia dapat menjadi contoh global dalam pengelolaan lahan yang berkelanjutan.

Melalui upaya ini, tidak hanya risiko karhutla yang dapat diminimalkan, tetapi juga kualitas hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan yang lebih terjaga untuk generasi mendatang.