“Perbedaan itu fitrah. Dan ia harus diletakkan dalam prinsip kemanusiaan universal.” -Gus Dur

Kata “toleransi” memunculkan interpretasi yang beragam. Namun, di balik semua pemikiran yang muncul tentang kata tersebut, ide utamanya adalah “menerima perbedaan”.

Masyarakat dihadapkan dua pilihan: menerima perbedaan atau menolak perbedaan. Di Dunia Barat, sebagian masyarakat masih memilih untuk menolak perbedaan. Menurut EU Agency for Fundamental Rights (FRA), orang-orang Islam di Uni Eropa menghadapi diskriminasi di berbagai aspek kehidupan, baik dari masyarakat maupun pemerintah. Orang-orang Islam di Eropa kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, membeli rumah, dan anak-anak yang mereka kerap menjadi korban perundungan di sekolah.

Sebagai negara Epictoto multireligius, Indonesia tidak bisa mengikuti jejak negara-negara yang memilih untuk mensegregasi masyarakatnya. Jika Indonesia memilih untuk membuat dikotomi sosial berdasarkan agama, integritas negara ini dapat terancam. Indonesia harus, dengan segala cara, menghindari intoleransi dan konflik keagamaan.

Intoleransi agama sering kali berakar dari kesalahpahaman. Untuk mengatasi intoleransi agama, kita perlu meningkatkan pemahaman tentang agama lain. Pada 30 Oktober 2024, siswa kelas XII Kolese Kanisius berkesempatan untuk melakukan live in di berbagai pondok pesantren di Banten dan Jawa Barat. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman “santri” Kanisius tentang agama Islam.

Cerita dari Al-Ittifaq

Satu kelompok siswa dari Kanisius berkesempatan untuk mengunjungi Pondok Pesantren Al-Ittifaq di Ciwidey, Jawa Barat. Berdiri sejak tahun 1934, Al-Ittifaq dikenal dengan kegiatan agribisnisnya dan bahkan pernah dikunjungi oleh Presiden Joko Widodo.

Live in para “santri” Kanisius berlangsung selama tiga hari dua malam. Sebelum keberangkatan, santri Kanisius merasakan berbagai perasaan. Ada perasaan gelisah karena belum pernah ke pondok pesantren dan ada juga yang mengalami fear of missing out terhadap berbagai dinamika yang terjadi di Jakarta, terutama karena semua gawai dititipkan ke guru sebelum keberangkatan. Namun, ada juga rasa antusias dan penasaran yang tak kalah besar.

Setibanya di Al-Ittifaq, santri Kanisius disambut oleh Om Dandan, Kepala Pondok Pesantren Al-Ittifaq. Saat Om Dandan menyambut santri Kolese Kanisius, saya terkesan dengan perkataan beliau.

“Keberagaman itu bukan masalah, justru sebuah anugerah” -Om Dandan

Melalui perkataan Om Dandan, saya tentu merasa diterima dengan baik.

Di hari pertama, santri Kolese Kanisius sudah di-expose dengan berbagai pengalaman yang baru. Setelah disambut oleh Om Dandan, santri Kanisius diajak untuk berkeliling di wilayah Al-Ittifaq. Saya dan tiga teman lainnya ditemani oleh tiga santri dari Al-Ittifaq.

Selama berkeliling di wilayah Al-Ittifaq, saya kagum dengan praktik agrobisnis yang dilakukan para santri. Persepsi saya tentang kehidupan pesantren berubah ketika saya berkeliling di wilayah Al-Ittifaq.

Ternyata, kehidupan di pesantren tidak melulu tentang pendidikan agama, tetapi juga keterampilan hidup tertentu. Suatu saat, santri-santri ini bisa diajak kolaborasi untuk melakukan agribisnis. Meskipun gaya hidup saya dengan para santri berbeda, kita ternyata bisa berkolaborasi.

Malam hari, para santri Kanisius diajak untuk kamisan di masjid. Tentu saja, para santri Kanisius tidak memahami apa yang terjadi selama kamisan. Namun, saya pribadi merasakan suasana keseruan, kehangatan, dan solidaritas selama kegiatan ini.

Kegiatan sosial yang benar-benar melibatkan human interaction seperti di acara kamisan sulit untuk dirasakan di Jakarta yang serba individualis dan cepat. Para santri terlihat sangat bahagia ketika mengikuti acara kamisan. Ketika melihat para santri yang menikmati acara kamisan, saya langsung menyadari bahwa kegiatan sosial rutin serupa harus dinormalisasikan di Jakarta. Meskipun human interaction di acara kamisan sangat sederhana, saya semakin menyadari pentingnya human interaction untuk kehidupan kita.

Hari kedua dapat dideskripsikan dalam dua kata: menantang dan melelahkan. Pada hari kedua, santri Kanisius bangun pukul 4 subuh dan pergi ke masjid. Setelah mengikuti kegiatan pengajian di masjid, santri Kanisius pergi ke Curug Bentang Padjajaran. Setelah ke Curug Bentang Padjajaran, santri Kanisius pergi ke ladang untuk berkegiatan. Hari kedua sungguh-sungguh dipenuhi dengan aktivitas fisik. Karena belum terbiasa bangun pada pukul 4 subuh dan ada banyak aktivitas fisik, tidak heran jika hari kedua menjadi hari yang menantang dan melelahkan.

Saya menyadari bahwa keseharian para santri Al-Ittifaq sangat padat dengan kegiatan. Namun, para santri tetap tampak bersemangat. Karena itu, saya kagum karena para santri kuat dalam menjalani kegiatan sehari-harinya.

Para santri memiliki prinsip atau motto bahwa ada tiga hal yang tidak boleh menganggur: waktu, tanah, dan sampah. Bagi para santri Al-Ittifaq, waktu itu selalu ada untuk dimanfaatkan. Sering kali kita tidak bisa berbuat sesuai karena malas saja, bukan karena kekurangan waktu. Ini adalah tamparan keras bagi saya yang kadang suka menunda-nunda pekerjaan demi kenikmatan sesaat.

Hari kedua yang melelahkan diikuti dengan hari ketiga yang cukup santai dan singkat. Hari ketiga, santri Kanisius melihat usaha budidaya jamur di dekat Al-Ittifaq. Kegiatan ini diikuti dengan kegiatan penutupan bersama Om Dandan. Setelah acara penutupan, santri Kanisius pun kembali menjadi siswa Kanisius.

What’s next?

Dalam sejarah kehidupan manusia, toleransi beragama bukanlah sesuatu yang sulit untuk diwujudkan. Kita bisa belajar dari negara-kota di Mesopotamia kuno yang mampu hidup berdampingan meskipun setiap negara-kota memiliki dewa-dewi yang berbeda. Bahkan, negara-kota tersebut semakin terintegrasi dengan adanya interaksi antaragama. Jika mereka berhasil menjadi kuat dengan mewujudkan toleransi beragama beberapa milenia yang lalu, Indonesia di abad ke-21 dapat melakukan hal yang sama.

Kita memang berbeda–itu adalah fakta yang tidak terbantahkan. Dengan segala kebiasaan yang dijalani oleh para santri Al-Ittifaq, saya belum tentu mampu mengikuti ritme kehidupan mereka setiap hari karena belum terbiasa. Ketika saya mencoba untuk hidup seperti para santri, saya memasuki dunia yang sangat berbeda dari dunia saya.

She dwells with Beauty—Beauty that must die;
And Joy, whose hand is ever at his lips
Bidding adieu; and aching Pleasure nigh,
Turning to poison while the bee-mouth sips:
Ay, in the very temple of Delight
Veiled Melancholy has her sovran shrine,
Though seen of none save him whose strenuous tongue
Can burst Joy’s grape against his palate fine;
His soul shall taste the sadness of her might,
And be among her cloudy trophies hung.

(Ode on Melancholy, John Keats)

Apakah saya ingin hidup di dalam dunia lain itu? Jawaban saya adalah tidak. Karena pada akhirnya, saya memiliki dunia dan cara hidup sendiri yang memberi saya kenyamanan dan kecocokan.  Namun, saya juga sadar bahwa cara hidup saya belum tentu dapat diterima oleh orang lain–dan itu tidak menjadi masalah. Jika suatu cara hidup sudah cocok bagi seseorang, mengapa kita harus memaksakan kebiasaan kita kepada orang lain?  If it works for them, why not?

Pemikiran saya di atas merupakan esensi daripada toleransi. Di dunia ini, kita bisa memiliki berbagai pendapat tentang dunia orang lain. Meskipun dunia orang lain tampak “terlalu berbeda”, kita masih dapat hidup berdampingan jika kita bersedia menerima perbedaan tersebut. Di dalam puisi Keats, “sukacita” dan “kesedihan”, dua emosi yang tampak bertentangan, dapat hadir secara bersamaan. Kehadiran kedua emosi itu justru menciptakan kekayaan emosi dan harmoni yang lebih besar. Begitu pula dengan perbedaan “dunia” yang ada di antara kita.

Pada akhirnya, sesuai dengan perkataan Gus Dur dan Om Dandan, keberagamaan adalah fitrah sekaligus anugerah yang menguatkan peradaban manusia. Keberagaman dapat diibaratkan sebagai taman yang penuh dengan berbagai jenis tanaman. Setiap tanaman mungkin memiliki kebutuhan atau “dunia” yang berbeda. Namun, jika setiap tanaman bertumbuh dengan baik, mereka akan menciptakan taman yang indah. Sama halnya dengan tanaman, manusia juga hidup di dunianya masing-masing. Akan tetapi, dengan berkembang di dunia kita masing-masing, kita bisa menciptakan masyarakat yang harmonis dan indah.