Saudara dan saudari, saya juga hendak berkata kepada Anda, kepada bangsa ini, kepada nusantara yang mengagumkan dan beranekaragam ini: janganlah lelah berlayar dan menebarkan jalamu, janganlah lelah bermimpi dan membangun lagi sebuah peradaban perdamaian! Beranilah selalu untuk mengimpikan persaudaraan!
Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia bukan sekadar peristiwa simbolis bagi masyarakat Katolik, tetapi juga menegaskan pentingnya toleransi antarumat beragama.
Sebagai pemimpin Gereja Katolik yang datang ke negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia, kunjungan Paus ini membawa pesan bahwa kerukunan dan harmoni antar agama adalah nilai yang perlu dijunjung tinggi dan diperjuangkan bersama.
Paus Fransiskus melakukan dialog terbuka dengan berbagai tokoh lintas agama di Indonesia, seperti Imam Besar Istiqlal Nasaruddin Umar dalam acara dialog tokoh lintas agama di Masjid Istiqlal. Beliau menekankan bahwa perbedaan keyakinan justru dapat menjadi kekuatan untuk membangun kehidupan bersama yang lebih damai.
Selama kunjungannya, Paus Fransiskus merasa nyaman dan aman di Indonesia. Sebagai bukti, beliau memilih untuk menggunakan kendaraan sederhana seperti Toyota Innova Zenix Hybrid, kendaraan yang akrab bagi masyarakat Indonesia, sehingga menciptakan kesan bahwa dirinya ingin dekat dengan masyarakat dan beradaptasi dengan budaya setempat.
Bahkan, Paus Fransiskus beberapa kali melambaikan tangan kepada masyarakat dari mobilnya tanpa rasa takut atau khawatir terhadap ancaman, menunjukkan bahwa beliau menaruh kepercayaan besar pada masyarakat Indonesia, termasuk kepada umat Muslim yang menjadi mayoritas. Sikapnya ini mencerminkan keyakinan bahwa masyarakat Indonesia memiliki komitmen terhadap keamanan dan toleransi.
Pada homili misa yang digelar di Gelora Bung Karno (GBK), Paus Fransiskus menyampaikan kekagumannya terhadap karakter masyarakat Indonesia yang selalu ramah dan penuh senyuman.
Beliau menegaskan bahwa senyuman itu adalah tanda kedamaian dan kerukunan, dan menyerukan agar masyarakat Indonesia terus mempertahankan dan memperjuangkan sikap toleransi ini di tengah keberagaman.
“Dengan Cvtogel dibimbing oleh sabda Tuhan, saya mendorong Anda semua untuk menaburkan kasih, dengan penuh keyakinan menempuh jalan dialog, terus memperlihatkan kebaikan budi dan hati dengan senyum khas yang membedakan Anda untuk menjadi pembangun persatuan dan perdamaian. Dengan demikian, Anda akan menyebarkan aroma harapan di sekeliling Anda.” – Paus Fransiskus, Homili di GBK, 2024 (1).
Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia menjadi momen penting bagi dialog antaragama dan memperkuat harapan akan terciptanya perdamaian yang lebih mendalam. Dalam sosok nya, Paus membawa semangat persatuan dan mengingatkan betapa berharganya perdamaian yang dibangun di atas toleransi.
Kehadirannya di Indonesia bukan hanya menginspirasi masyarakat Katolik, tetapi juga seluruh bangsa Indonesia untuk terus mengupayakan kehidupan bersama yang harmonis, menjadikan negara ini sebagai contoh nyata toleransi bagi dunia.
Kolese Kanisius, sebagai institusi pendidikan Jesuit, menekankan pentingnya sikap toleransi antarumat beragama. Prinsip ini terlihat dalam berbagai kegiatan yang mencerminkan penghormatan terhadap perbedaan keyakinan. Misalnya, saat siswa Katolik melaksanakan misa setiap Jumat, siswa Muslim diberikan kesempatan untuk melaksanakan Sholat Jumat.
Selain itu, terdapat beragam kegiatan eksternal yang mendukung semangat toleransi, seperti acara buka puasa bersama dengan sekolah Al-Izhar, kunjungan ke vihara, ucapan selamat hari raya melalui media sosial, serta kegiatan ekskursi ke pondok pesantren.
Kegiatan ekskursi siswa kelas 12 ke pondok pesantren merupakan pengalaman yang kaya akan nilai dan makna, khususnya dalam hal memperkuat sikap toleransi antar agama.
Selama tiga hari, para siswa Kolese Kanisius terjun langsung dan tinggal bersama para santri/santriwati di berbagai pesantren di seluruh pulau Jawa. Di sana, kami menjalani rutinitas hidup seorang santri, berbaur, dan berdinamika bersama.
Di pondok pesantren Al-Ittifaq, Bandung, saya belajar bahwa para santri/santriwati tidak jauh berbeda dari saya—kami dapat berbincang tentang hal-hal sehari-hari, seperti musik, sekolah, rutinitas, dan masa depan. Dialog sederhana ini membuka mata saya terhadap realitas bahwa kepercayaan agama bukanlah penghalang bagi hubungan yang harmonis, bahkan di tengah keberagaman keyakinan.
Selain itu, di Al-Ittifaq, saya juga terlibat dalam aktivitas yang menunjukkan keunikan mereka, yaitu perpaduan antara teori dan praktik dalam pendidikan.
Saya diajak untuk berpartisipasi dalam kegiatan seperti menanam kubis, memanen stroberi, membersihkan kandang sapi, dan memberi makan kambing. Aktivitas ini menunjukkan betapa kuatnya prinsip gotong royong dan kemandirian yang ditanamkan di pesantren, yang secara tidak langsung mengajarkan nilai-nilai toleransi melalui kerja sama lintas perbedaan.
Selama tiga hari di sana, saya berkesempatan untuk berbagi ilmu dalam bidang Matematika dan Sejarah dalam sesi belajar bersama. Saya juga dapat berbincang dengan para santri dan santriwati tentang perkuliahan dan impian masa depan dalam sesi diskusi.
Interaksi ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan serta membangun pemahaman bahwa para santri dan santriwati memiliki kesamaan dengan saya. Mereka juga merasakan kebingungan tentang masa depan, dan dengan terbuka berbagi pengalaman serta harapan mereka dengan saya.
Saya merasa disambut dengan hangat, diterima, dan dihargai meskipun latar belakang agama kami berbeda. Ketika kami melakukan hiking bersama ke Curug Padjadjaran selama satu setengah jam, kekompakan dan semangat kebersamaan saya dengan para santri menjadi pengalaman yang sangat berkesan.
Saya hampir terpeleset dan jatuh dua kali, tetapi para santri dengan sigap membantu saya untuk berdiri kembali. Mereka juga sangat sabar, memastikan tidak ada yang tertinggal dan terus memberi saya semangat untuk menyelesaikan perjalanan hingga akhir.
Di sela-sela aktivitas tersebut, saya menyadari betapa besar rasa toleransi yang dimiliki oleh para santri. Mereka menghormati saya, memberikan ruang bagi keyakinan saya tanpa menanyakan atau menghakimi. Misalnya, saat kami makan bersama, saya dapat berdoa dengan membuat tanda salib tanpa merasa dilihat sebagai seseorang yang berbeda. Pagi hari, saya juga dapat mengikuti mereka menyaksikan pengajian, yang membuat saya menghargai ritual mereka dengan lebih dalam.
Dari pengalaman di pesantren, saya belajar bahwa toleransi bukan hanya tentang menerima perbedaan, tetapi juga merayakan kesamaan. Para santri/santriwati mengajarkan kepada saya arti kebersamaan dan keterbukaan hati. Toleransi ternyata bukan hanya tentang menghargai keberagaman, melainkan tentang melihat manusia sebagai sesama—dengan cita-cita, harapan, dan nilai yang bisa saling memperkaya satu sama lain.