Jakarta – Deddy Sitorus, yang merupakan anggota Komisi II DPR RI, meminta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk memastikan bahwa penggunaan tanah untuk investasi berada pada posisi yang adil dengan hak masyarakat mengenai tanah adat atau tanah ulayat.

Ia menjelaskan bahwa saat ini penggunaan tanah untuk investasi dan hak atas tanah ulayat seringkali tidak seimbang. Keseimbangan ini diperlukan untuk menghindari adanya masalah hukum yang bertumpuk.

“Misalnya, perbandingan antara luas kebun sawit dan luas pemberian hak ulayat tanah adat bagi masyarakat, itu seperti membandingkan kura-kura dengan kuda Arab, tidak sebanding,” ujar Deddy dalam rapat Komisi II DPR dengan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid yang diadakan di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, ANGKARAJA,  pada hari Senin.

Deddy menyatakan bahwa investasi bisa muncul jika ada kepastian hukum di suatu daerah. Tanpa adanya kepastian hukum mengenai tanah, investor kemungkinan tidak akan datang dan ini bisa merugikan masyarakat.

“Siapa yang ingin datang jika situasinya tidak pasti, regulasinya tumpang tindih, dan di lapangan banyak mafia serta makelar?” ungkapnya. Oleh karena itu, ia meminta Kementerian ATR/BPN untuk mendorong pemerintah daerah agar bisa mengajukan tanah ulayat dan tanah adat demi menciptakan kepastian hukum mengenai suatu area.

Deddy berpendapat bahwa inisiatif ini seharusnya datang dari pemerintah pusat karena perhatian pemerintah daerah terhadap masalah tanah ulayat sering kali kurang.

“Bantulah, jangan hanya menunggu dari bawah, pemerintah daerah tidak terlalu peduli, tolonglah dorong. Kita memiliki kantor di daerah untuk mempercepat pengajuan hak tersebut,” katanya. Lebih dari itu, keseimbangan antara kedua hal ini penting untuk mengurangi kemungkinan terjadinya masalah sosial di masa depan.

Deddy menegaskan bahwa saat ini jumlah penduduk terus meningkat, tetapi luas tanah yang tersedia untuk rakyat semakin berkurang.

Di sisi lain, ia juga meminta Kementerian ATR/BPN untuk memberikan penjelasan mengenai mekanisme terkait anggaran dari pinjaman Bank Dunia sebesar 653 juta dolar AS untuk program Integrated Land Administration and Spatial Planning (ILASP), yang dikatakan bertujuan untuk mempermudah investasi.

Jangan sampai investor menghindar karena adanya konflik pertanahan yang pada akhirnya justru akan membebani negara dengan utang tersebut.

Selain itu, Deddy menambahkan bahwa konflik agraria di Indonesia tergolong tinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya. “Jadi, kita meminjam untuk investasi, tetapi rakyat menjadi korban, dan belum tentu ini akan menarik banyak investasi. Akhirnya, masyarakat yang akan merasakan dampaknya,” ujarnya.