Perjalanan lintas darat kurang lebih 8 jam dari Kota Ambon, menyeberangi laut dengan kapal Ferry, menyusuri jalan aspal berliku yang terkadang tidak mulus, dengan sisi-sisi jalan yang amblas, kemudian masuk-keluar hutan Taman Nasional Manusela yang lebat dan alami, serta naik turun gunung, yang membuat gendang telinga terasa berat dan penuh, merupakan pengalaman pertama yang cukup melelahkan bagi kami.
Kami berpikir bahwa kelelahan itu telah berakhir, ketika kami bertemu rumah pertama di Desa Banggoi, namun ternyata belum.
Kami masih harus menyusuri jalan kecil, tidak beraspal dan berlumpur, yang hanya dapat dilewati satu buah mobil, sepanjang kurang lebih 5 km selama lebih dari satu jam, kerena mobil pickup yang kami tumpangi terperosok lumpur dan itu menambah panjang kesabaran kami untuk menikmati hutan mangrove Banggoi, yang menurut kata orang indah.
Kelelahan menjadi kekecewaan, saat saya bersama teman-teman yang tergabung dalam Tim Survey bioekologis kepiting bakau, kerjasama ISPIKANI dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, GEF dan WWF, mencapai tepi pantai Desa Banggoi.
Sebagian pantai telah mengalami abrasi, hingga menyebabkan banyak vegetasi kesuari roboh, dan air laut menerobas, membongkar pantai ke arah daratan.
Beruntung bahwa pemukiman Epictoto sangat jauh dari pantai. Namun kondisi ini harus terus diwaspadai secara serius oleh pemerintah daerah agar tidak semakin mengancam ekosistem pantai Desa Banggoi.
Kelelahan dan kekecewaan kami seketika sirna ketika perjalanan kami mencapai muara sungai, karena kami diperhadapkan dengan ekosistem mangrove yang sangat luas, indah, dengan vegetasi mangrove yang sangat rapat dan beragam, diantaranya Rhizophora spp. Sonneratia spp., Bruguiera spp., Avicenia spp., Ceriops sp. dan Xyllocarpus sp.
Perjalanan ke dalam hutan mangrove Desa Banggoi kami susuri speedboat, melewati anak-anak sungai dan alur pasang surut, dengan dipandu masyarakat local yang selalu ingat betul mana jalan datang dan mana jalan pulang.
Di Tengah hutan mangrove Banggoi, kami sungguh merasa berada di bagian dunia yang lain karena dalam perjalanan kami menyusuri perairan yang sempit, diapit komunitas mangrove di sisi kiri-kanan perairan, kami dapat merasakan kesejukan dan kesegaran udara laut yang luar biasa.
Kelelahan dan kekecewaan kami seketika sirna ketika perjalanan kami mencapai muara sungai, karena kami diperhadapkan dengan ekosistem mangrove yang sangat luas, indah, dengan vegetasi mangrove yang sangat rapat dan beragam, diantaranya Rhizophora spp. Sonneratia spp., Bruguiera spp., Avicenia spp., Ceriops sp. dan Xyllocarpus sp.
Perjalanan ke dalam hutan mangrove Desa Banggoi kami susuri speedboat, melewati anak-anak sungai dan alur pasang surut, dengan dipandu masyarakat local yang selalu ingat betul mana jalan datang dan mana jalan pulang.
Di Tengah hutan mangrove Banggoi, kami sungguh merasa berada di bagian dunia yang lain karena dalam perjalanan kami menyusuri perairan yang sempit, diapit komunitas mangrove di sisi kiri-kanan perairan, kami dapat merasakan kesejukan dan kesegaran udara laut yang luar biasa.
Ekosistem mangrove Desa Banggoi menjadi lokasi penangkapan sumberdaya ikan termasuk kepiting bakau sejak lama. Hampir sebagian besar masyarakat Desa Banggoi, laki-laki dan perempuan menggantungkan hidupnya pada ekosistem mangrove.
Ada lebih dari 30 orang yang berprofesi sebagai nelayan kepiting bakau, dengan alat tangkap bubu lipat. Tiap nelayan memiliki 30-50 buah bubu lipat, dengan jumlah armada angkutan laut minimal 1 speedboat dan 1 perahu.
Sementara alat tangkap jaring hanya digunakan untuk menangkap ikan. Selain menangkap kepiting bakau dan ikan, perempuan Desa Banggoi juga mengumpulkan kerang. Salah satu jenis kerang yang banyak ditemukan di hutan mangrove yaitu bia kodok (Gelonia sp.) dari kelas bivalvia.
Jumlah nelayan dengan armada penangkapan yang banyak tidak sampai menimbulkan konflik diantara nelayan untuk memperebutkan daerah tangkap kepiting bakau.
Kearifan local yang dipelihara secara baik hingga saat ini yaitu jika ada nelayan yang telah lebih dahulu memasang bubu pada suatu lokasi, maka nelayan lain akan memasang bubu pada lokasi lainnya.
Bahkan secara bersama para nelayan membuat rumah singgah untuk beristirahat, menghabiskan waktu menunggu air pasang atau air surut, sesuai kebutuhkan atau kepentingan masing-masing, misalnya menunggu waktu mengangkat bubu, dll.
Jadi para nelayan hidup dan memanfatkan sumberdaya alam yang tersedia secara bersama, dalam kerukunan tanpa persaingan tidak sehat.
Hidup dalam kerukunan itulah yang mungkin menjadi alasan mengapa Tuhan mengaruniakan berkat sumberdaya alam luar biasa melimpah bagi Desa Banggoi.
Salah satu kearifan local yang membuat kami tersentuh dan merasa ditegur bahwa ternyata kami belum banyak melakukan apa-apa untuk alam ini, adalah ketika melihat bagaimana nelayan yang berhasil menangkap kepiting bakau pada suatu lokasi, dan pada lokasi tersebut ada buah mangrove (progapul) yang telah matang, maka mereka akan mengambilnya dan menanam pada substrat yang kosong.
Orang-orang sederhana ini sadar sungguh bahwa alamlah yang telah banyak memberi kepada mereka. Alam telah memberkati mereka dan merekapun belajar untuk memuliakan alam. Semoga mereka terus seperti itu.