Sabtu pagi, dengan aroma kopi yang menghangatkan udara, saya tergoda oleh sebuah berita di layar ponsel. Di SMPN 250 Jakarta, seorang warga berkursi roda memasukkan surat suara ke kotak pemilu dalam simulasi Pilkada Serentak 2024.
Sederhana tapi bermakna menurut saya. Karena ini adalah usaha nyata untuk merangkul semua, termasuk penyandang disabilitas, dalam proses demokrasi kita.
Namun, apakah ini langkah nyata menuju inklusivitas, atau hanya formalitas tanpa evaluasi?
Inklusivitas: Langkah Epictoto yang Patut Diapresiasi
Menurut data KPU, ada 1,1 juta penyandang disabilitas yang terdaftar sebagai calon pemilih pada Pemilu 2024, dan 264.594 di antaranya adalah penyandang disabilitas mental.
Ini bukan angka kecil. Fakta bahwa simulasi ini melibatkan penyandang disabilitas menunjukkan bahwa pemerintah mulai menyadari pentingnya memastikan hak suara bagi semua orang, tanpa terkecuali.
Sebagai warga negara yang sudah melewati beberapa kali pemilu, saya tahu bahwa proses mencoblos di TPS sering kali dianggap remeh oleh mereka yang tidak menghadapi hambatan fisik atau mental.
Tetapi, bagi penyandang disabilitas, ini bisa jadi tantangan.
Mulai dari aksesibilitas lokasi, petugas yang kurang paham kebutuhan khusus, hingga tata cara yang membingungkan. Simulasi seperti ini adalah langkah awal untuk menutup kesenjangan itu.
Tantangan di Balik Simulasi
Namun seperti petuah lama, “Yang tampak indah di luar, belum tentu tanpa cela di dalam.” Simulasi pemilu ini, meski penuh niat baik, masih menyisakan pekerjaan besar agar tak sekadar jadi formalitas.
Studi di Jurnal terbitan UNAIR mengungkap realitas yang tak bisa diabaikan—verifikasi data yang lemah dan sosialisasi yang tidak merata masih menjadi kendala utama dalam memastikan pemilu inklusif bagi penyandang disabilitas.
Celah-celah ini, bagai benang yang terurai, perlu segera ditenun kembali agar demokrasi benar-benar merangkul semua, tanpa terkecuali.
Bayangkan, bagaimana seorang difabel mental yang tinggal di pelosok bisa memahami tata cara mencoblos jika sosialisasinya hanya dilakukan di kota besar seperti Jakarta?
Atau, bagaimana jika petugas KPPS tidak dilatih untuk menghadapi situasi khusus?
Hal-hal seperti ini harus menjadi perhatian serius jika kita ingin benar-benar mewujudkan inklusivitas.
Pentingnya Evaluasi dan Pelatihan Berkelanjutan
Simulasi ini juga mengajarkan satu hal penting: evaluasi adalah kunci.
Tanpa evaluasi, kita hanya berjalan di tempat.
Sudahkah kita benar-benar memetakan apa saja tantangan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas saat mencoblos?
Apakah TPS kita sudah cukup ramah bagi semua orang?
Pelatihan berkelanjutan bagi petugas KPPS juga sangat penting.
Ini bukan sekadar soal tahu aturan, tetapi juga memahami kebutuhan pemilih yang beragam. Misalnya, bagaimana membantu difabel fisik tanpa membuat mereka merasa direndahkan.
Atau bagaimana memberikan penjelasan yang sederhana namun jelas bagi difabel mental. Ini semua adalah bagian dari membangun kepercayaan publik terhadap sistem pemilu.
Kesimpulan
Bagi saya, inklusivitas adalah salah satu pilar demokrasi. Jika satu kelompok masyarakat merasa terpinggirkan, maka demokrasi kita belum sepenuhnya utuh
Simulasi pemilu yang dilakukan ini adalah langkah maju, tetapi masih jauh dari kata sempurna.
Yang saya harapkan adalah adanya keberlanjutan dari inisiatif ini. Jangan berhenti di satu simulasi saja. Libatkan lebih banyak komunitas penyandang disabilitas dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Pada akhirnya, demokrasi bukan hanya tentang siapa yang menang atau kalah. Demokrasi juga adalah tentang bagaimana setiap suara, sekecil apa pun, didengar dan dihargai.
Dan untuk itu, kita semua harus bekerja lebih keras. Bukan hanya pemerintah atau penyelenggara pemilu, tetapi juga kita sebagai warga negara.